SATUAN ACARA
PENGAJARAN (SAP)
Topik :
Terapi Bermain
Pokok Bahasan :
Terapi Bermain Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Pengenalan Adaptasi Makhluk Hidup Terhadap Lingkungannya
Hari/ Tanggal :
Waktu :
35 menit
Tempat :
Ruang Kelas Bidang Studi IPA SLB-B Karya Ibu Palembang
Sasaran :
Anak Usia Sekolah (6-12 tahun) Kelas VI di SLB-B Karya Ibu
Palembang tahun 20
A.
TUJUAN
1. Tujuan Umum
Terapi bermain ini dilakukan untuk merangsang perkembangan
kemampuan fungsi afektif, kognitif, serta psikomotor anak khususnya dalam
bidang studi IPA.
2. Tujuan Khusus
a.
Memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan
bagi anak, anak dapat mengikuti kegiatan terapi bermain dengan perasaan gembira
b.
Mengarahkan perhatian anak untuk berkosentrasi dan
terlibat aktif terhadap pelajaran
c.
Meningkatkan kemampuan anak untuk memahami
pelajaran tentang proses adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungaannya
B.
MATERI
Terlampir
C.
METODE
Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah terapi
bermain pengenalan adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya dengan ceramah,
diskusi, dan tanya jawab.
D.
MEDIA
Media yang digunakan dalam proses kegiatan terapi bermain
ini adalah lembar contoh adaptasi, buku pelajaran IPA untuk SD, white board dan
spidol.
E.
PENGORGANISASIAN
Terapis :
F.
PELAKSANAAN KEGIATAN
No.
|
Kegiatan
|
Kegiatan Terapis
|
Kegiatan Anak
|
Waktu
|
Media / Alat
|
Metode
|
1.
|
Pembukaan
|
·
Membuka kegiatan terapi
bermain dengan mengucapkan salam terapeutik
·
Memperkenalkan diri
·
Menjelaskan tentang
kegiatan yang akan dilakukan
|
·
Menjawab salam
· Memperhatikan
· Memperhatikan
|
5 menit
|
-
-
-
|
Ceramah
Ceramah
Ceramah
|
2.
|
Proses
|
·
Menjelaskan tentang
proses adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya (adaptasi morfologi,
fisiologi, dan tingkah laku)
·
Memberikan contoh /
demonstrasi pada anak tentang proses adaptasi makhluk hidup terhadap
lingkungannya
·
Mengajak anak untuk bermain
mengisi tabel tentang contoh jenis-jenis adaptasi makhluk hidup terhadap
lingkungannya
·
Mengakhiri permainan
setelah waktu yang ditetapkan berakhir
|
· Memperhatikan
· Memperhatikan
· Melakukan permainan
· Mengakhiri permainan
|
20 menit
|
·
Buku pelajaran IPA, white
board, spidol
·
Buku pelajaran IPA, white
board, spidol, lembar contoh adaptasi
·
lembar contoh adaptasi
|
Ceramah
Ceramah, tanya
jawab, dan simulasi
Terapi bermain
Ceramah
|
3.
|
Penutup
|
·
Menanyakan perasaan anak
setelah mengikuti kegiatan
·
Memberikan reward kepada
anak
·
Menutup kegiatan terapi
bermain dengan mengucapkan salam
|
·
Mengungkapkan perasaan
·
Menerima reward dan
megucapkan terima kasih
·
Menjawab salam
|
10 menit
|
-
-
-
|
Tanya
jawab dan diskusi
Ceramah
Ceramah
|
H. EVALUASI
a.
Anak mengikuti kegiatan permainan dengan perasaan
senang dan gembira
b.
Anak berkonsentrasi terhadap pelajaran dan
permainan yang diberikan
c.
Anak dapat mengetahui tentang proses adaptasi
makhluk hidup terhadap lingkungannya
TINJAUAN
TEORITIS
1.
Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbahan merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel
diseluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat di ukur, sedangkan
perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat
dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Wong, 2004).
Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak terdapat suatu
peristiwa yang diaalminya yaitu, masa percepatan dan perlambatan. Masa tersebut
akan berlainan dalam satu organ tubuh. Pertumbuhan dan perkembangan secara
intelektual anak dapat dilihat dari kemampuan secara symbol maupun abstrak
seperti seperti berbicara, bermain, dan bertualang, membaca dan lain-lain.
Sedangkan perkembangan secara emosional anak dapat dilihat dari penilaian
sosial dilingkungan anak. Faktor pengaruh tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya:
a.
Faktor herediter
b.
Faktor lingkungan
1)
Pranatal
2)
Intranatal dan
3)
Postnatal
c.
Faktor hormonal
2.
Konsep Bermain
2.1.
Definisi Bermain
Bermain
merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh
kesenangan/kepuasan. Bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual,
emosional, dan sosial, dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar
karena dengan bermain, anak-anak akan berkata-kata (berkomunukasi), belajar
menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan
mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, 2000 dalam Supartini, 2004).
Bermain
sama dengan pekerjaan pada orang dewasa, dan merupakan aspek terpenting dalam
kehidupan anak serta cara yang paling efektif untuk menurunkan stres pada anak,
dan penting untuk kesejahteraan mental dan emosional anak (Campbell dan Glaser,
1995 dalam Supartini, 2004).
Bermain
adalah kegiatan yang menyenangkan/ dinikmati secara fisik, intelektual, emosi,
sosial, dan digunakan untuk belajar, perkembangan mental dan bermain (Harnawatiaj, 2008). Bermain
merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau memperaktikan
keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif,
mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Aziz, 2005).
Dari
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa bermain adalah kegiatan yang tak dapat
dipisahkan dari kehidupan anak sehari-hari karena bermain sama dengan bekerja
pada orang dewasa, yang dapat menurunkan stres anak, media yang baik bagi anak
untuk belajar berkomunikasi dengan lingkungannya, menyesuaikan diri dengan,
belajar mengenal dunia sekitar kehidupannya, dan penting untuk meningkatkan
kesejahteraan mental serta sosial anak.
2.2.
Fungsi Bermain
Fungsi
utama bermain adalah merangsang perkembangan sensori dan motorik, perkembangan
intelektual, perkembangan social, perkembangan kreativitas, perkembangan
kesadaran diri, perkembangan moral, dan bermain sebagai terapi.
a. Perkembangan Sensori Motorik
1)
Memperbaiki keterampilan motorik kasar dan halus
serta koordinasi
2)
Meningkatkan perkembangan semua indera
3)
Mendorong eksplorasi pada sifat fisik dunia
4)
Memberikan pelampiasan kelebihan energi
b. Perkembangan
Intelektual
1)
Memberikan sumber-sumber yang beranekaragam untuk
pembelajaran
2)
Eksplorasi dan manipulasi bentuk, tekstur, warna
3)
Pengalaman dengan angka, hubungan yang renggang,
konsep abstrak
4)
Kesempatan untuk mempraktikkan dan memperluas
keterampilan berbahasa
5)
Memberikan kesempatan untuk melatih pengalaman masa
lalu dalam upaya mengasimilasinya ke dalam persepsi dan hubungan baru
6)
Membantu anak memahami dunia di mana mereka hidup
dan membedakan antara fantasi dan realita
c. Perkembangan Sosial dan Moral
1)
Mengajarkan peran orang dewasa, termasuk perilaku
peran seks
2)
Memberikan kesempatan untuk menguji hubungan
3)
Mengembangkan eterampilan sosial
4)
Mendorong interaksi dan perkembangan sikap yang
posirif terhadap orang lain
5)
Menguatkan pola perilaku yang telah disetujui oleh
standar moral
d.
Kreativitas
1)
Memberikan saluran ekspresif untuk ide dan minak
yang kreatif
2)
Memungkinkan fantasi dan imajinasi
3)
Meningkatkan perkembangan bakat dan minat khusus
e. Kesadaran Diri
1)
Memudahkan perkembangan identitas diri
2)
Mendorong pengatuan perilaku sendiri
3)
Memungkinkan pengujian pada kemampuan sendiri dan
kemampuan orang lain
4)
Memungkinkan kesepatan untuk belaja bagaimana
perilaku sendiri dapat mempengaruhi orang lain
f. Nilai Terapeutik (Bermain Sebagai Terapi)
1)
Memberikan pelepasan stres dan ketegangan
2)
Memungkinkan ekspresi emosi dan pelepasan implus
yang tidak dapat diterima dalam bentuk yang secara sosial dapat diterima
3)
Mendorong percobaan dan pengujian situasi yang
menakutkan dengan cara yang aman
4)
Memudahkan komunikasi verbal tidak langsung dan
nonverbal tentang kebutuhan, rasa takut, dan keinginan
2.3.
Macam-Macam Bermain
Kegiatan
bermain dapat diklasfikasikan menjadi dua, yaitu bermain aktif dan bermain
pasif.
a.
Bermain Aktif
Pada
permainan ini anak berperan secara aktif, kesenangan diperoleh dari apa yang
diperbuat oleh mereka sendiri. Bermain aktif meliputi:
1)
Bermain mengamati / menyelidiki (Exploratory Play)
Perhatian
pertama anak pada alat bermain adalah memeriksa alat permainan tersebut, memperhatikan,
mengocok-ocok apakah ada bunyi, mencium, meraba, menekan dan kadang-kadang
berusaha membongkar
2)
Bermain konstruksi (Construction Play)
Pada
anak umur 3 tahun dapat menyusun balok-balok menjadi rumah-rumahan
3)
Bermain drama (Dramatic Play)
Misal
bermain sandiwara boneka, main rumah-rumahan dengan teman-temannya
4)
Bermain fisik
Misalnya
bermain bola, bermain tali dan lain-lain
b.
Bermain Pasif
Pada
permainan ini anak bermain pasif antara lain dengan melihat dan mendengar.
Permainan ini cocok apabila anak sudah lelah bernmain aktif dan membutuhkan
sesuatu untuk mengatasi kebosanan dan keletihannya. Contoh Melihat gambar di
buku/majalah.,mendengar cerita atau musik,menonton televisi.
Dalam
kegiatan bermain kadang tidak dapat dicapai keseimbangan dalam bermain, yaitu
apabila terdapat hal-hal seperti dibawah ini :
1)
Kesehatan anak menurun. Anak yang sakit tidak
mempunyai energi untuk aktif bermain
2)
Tidak ada variasi dari alat permainan
3)
Tidak ada kesempatan belajar dari alat permainannya
4)
Tidak mempunyai teman bermain
2.4.
Alat Permainan Edukatif
Alat
Permainan Edukatif (APE) adalah alat permainan yang dapat mengoptimalkan
perkembangan anak, disesuaikan dengan usianya dan tingkat perkembangannya,
serta berguna untuk:
a.
Pengembangan aspek fisik, yaitu kegiatan-kegiatan
yang dapat menunjang atau merangsang pertumbuhan fisik anak, trediri dari
motorik kasar dan halus
Contoh
alat bermain motorik kasar: sepeda, bola, mainan yang ditarik dan didorong,
tali, dll. Motorik halus : gunting, pensil, bola, balok, lilin, dll
b.
Pengembangan bahasa, dengan melatih berbicara,
menggunakan kalimat yang benar
Contoh
alat permainan: buku bergambar, buku cerita, majalah, radio, tape, TV
c.
Pengembangan aspek kognitif, yaitu dengan
pengenalan suara, ukuran, bentuk. Warna
Contoh
alat permainan: buku bergambar, buku cerita, puzzle, boneka, pensil warna,
radio
d.
Pengembangan aspek sosial, khususnya dalam
hubungannya dengan interaksi ibu dan anak, keluarga dan masyarakat
Contoh
alat permainan: alat permainan yang dapat dipakai bersama, misal kotak pasir,
bola, tali
2.5.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam
Bermain
a.
Bermain/alat bermain harus sesuai dengan taraf
perkembangan anak
b.
Permainan disesuaikan dengan kemampuan dan minat
anak
c.
Ulangi suatu cara bermain sehingga anak terampil,
sebelum meningkat pada keterampilan yang lebih majemuk
d.
Jangan memaksa anak bermain, bila anak sedang tidak
ingin bermain
e.
Jangan memberikan alat permainan terlalu banyak
atau sedikit
2.6.
Bentuk-Bentuk Permainan
a.
Usia 0 – 12 bulan
Tujuannya adalah:
1)
Melatih reflek-reflek (untuk anak berumur 1 bulan),
misalnya mengisap, menggenggam
2)
Melatih kerjasama mata dan tangan
3)
Melatih kerjasama mata dan telinga
4)
Melatih mencari obyek yang ada tetapi tidak
kelihatan
5)
Melatih mengenal sumber asal suara
6)
Melatih kepekaan perabaan
7)
Melatih keterampilan dengan gerakan yang
berulang-ulang
Alat permainan yang dianjurkan:
1)
Benda-benda yang aman untuk dimasukkan mulut atau
dipegang
2)
Alat permainan yang berupa gambar atau bentuk muka
3)
Alat permainan lunak berupa boneka orang atau
binatang
4)
Alat permainan yang dapat digoyangkan dan keluar
suara
5)
Alat permainan berupa selimut dan boneka
b.
Usia 13 – 24 bulan
Tujuannya adalah:
1)
Mencari sumber suara/mengikuti sumber suara
2)
Memperkenalkan sumber suara
3)
Melatih anak melakukan gerakan mendorong dan
menarik
4)
Melatih imajinasinya
5)
Melatih anak melakukan kegiatan sehari-hari
semuanya dalam bentuk kegiatan yang menarik
Alat permainan yang dianjurkan:
1)
Genderang, bola dengan giring-giring didalamnya
2)
Alat permainan yang dapat didorong dan ditarik
3)
Alat permainan yang terdiri dari: alat rumah
tangga(misal: cangkir yang tidak mudah pecah, sendok botol plastik, ember,
waskom, air), balok-balok besar, kardus-kardus besar, buku bergambar, kertas
untuk dicoret-coret, krayon/pensil berwarna
c.
Usia 25 – 36 bulan
Tujuannya adalah:
1)
Menyalurkan emosi atau perasaan anak
2)
Mengembangkan keterampilan berbahasa
3)
Melatih motorik halus dan kasar
4)
Mengembangkan kecerdasan (memasangkan, menghitung,
mengenal dan membedakan warna)
5)
Melatih kerjasama mata dan tangan
6)
Melatih daya imajinansi
7)
Kemampuan membedakan permukaan dan warna benda
Alat permainan yang dianjurkan:
1)
Alat-alat untuk menggambar
2)
Lilin yang dapat dibentuk
3)
Pasel (puzzel) sederhana
4)
Manik-manik ukuran besar
5)
Berbagai benda yang mempunyai permukaan dan warna
yang berbeda.
6)
Bola
d.
Usia 32 – 72 bulan
Tujuannya adalah:
1)
Mengembangkan kemampuan menyamakan dan membedakan
2)
Mengembangkan kemampuan berbahasa
3)
Mengembangkan pengertian tentang berhitung,
menambah, mengurangi
4)
Merangsang daya imajinansi dsengan berbagai cara
bermain pura-pura (sandiwara)
5)
Membedakan benda dengan permukaan
6)
Menumbuhkan sportivitas
7)
Mengembangkan kepercayaan diri
8)
Mengembangkan kreativitas
9)
Mengembangkan koordinasi motorik
10)
Mengembangkan kemampuan mengontrol emosi, motorik
halus dan kasar
11)
Mengembangkan sosialisasi atau bergaul dengan anak
dan orang diluar rumahnya
12)
Memperkenalkan pengertian yang bersifat ilmu
pengetahuan, misal: pengertian mengenai terapung dan tenggelam
13)
Memperkenalkan suasana kompetisi dan gotong royong
Alat permainan yang dianjurkan:
1)
Berbagai benda dari sekitar rumah, buku bergambar,
majalah anak-anak, alat gambar & tulis, kertas untuk belajar melipat,
gunting, air, dan lain lain
2)
Teman-teman bermain: anak sebaya, orang tua, orang
lain diluar rumah
e.
Usia Prasekolah
Alat permainan yang dianjurkan:
1)
Alat olah raga
2)
Alat masak
3)
Alat menghitung
4)
Sepeda roda tiga
5)
Benda berbagai macam ukuran
6)
Boneka tangan
7)
Mobil
8)
Kapal terbang
9)
Kapal laut
f.
Usia sekolah
Jenis permainan yang dianjurkan:
1)
Pada anak laki-laki: mekanik
2)
Pada anak perempuan: dengan peran ibu
g.
Usia Praremaja (yang akan dilakukan oleh kelompok)
Karakterisrik
permainnya adalah permainan intelaktual, membaca, seni, mengarang, hobi, video
games, permainan pemecahan masalah
h.
Usia remaja
Jenis permainan: permainan keahlian, video, komputer, dan
lain-lain
3.
Konsep Tuna Runggu dan Tuna Wicara
3.1.
Definisi
Istilah tuna rungu diambil dari kata ‘tuna’ dan ‘rungu’,
tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu
apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara (Hadi,
2007).
Tunarungu satu istilah umum yang menunjukkan
ketidakmampuan mendengar dari yang ringan sampai yang berat sekali yang
digolongkan kepada tuli (deaf) dan kurang dengar (a hard of hearing).
Orang yang tuli (a deaf person) adalah seseorang yang mengalami
ketidakmampuan mendenar sehingga mengalami hambatan didalam memproses informasi
bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing
aid), sedangkan yang kurang dengar (a hard of hearing person) adalah
sesorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu dengar, sisa
pendengarannya cukuup memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi
bahasa melalui pendengarannya, artinya apabila orang yang kurang dengar
tersebut menggunakan hearing
aid ia masih dapat menangkap
pembicaraan melalui pendengarannya (Wardhani, 2007).
Sedangkan tuna wicara adalah merupakan gangguan verbal pada
seseorang sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi melalui suara
(Wardhani, 2007).
Menurut Aristoteles, orang yang
bisu dan tuli adalah orang yang tidak dapat mendengar juga tidak dapat
mengajar, belajat dan berfikir sebagaimana seseorang yang normal. Menurutnya,
jika seseorang tidak dapat berbicara maka orang tersebut juga tidak mampu
membangun kemampuan kognitifnya. Beberapa tahun selanjutnya terjadi perubahan
bahwa seseorang yang menderita ketulian tidak berarti dia tidak mampu
berkomunikasi sama sekali. Mereka menggunakan bahasa isyarat, membaca gerak
bibir dan berbagai cara lain untuk tetap berkomunikasi dengan yang lainnya
(Wardhani, 2007).
Defenisi penyandang tuna rungu wicara menurut dinas Sosial
adalah seseorang yang tidak dapat mendengar dan berbicara dengan baik sehingga
menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari–hari secara layak/ wajar
dengan kriteria:
a. Tidak
dapat mendengar atau memahami perkataan yang disampaikan pada jarak 1 meter
tanpa alat bantu dengar
b. Tidak
dapat bicara sama sekali atau berbicara tidak jelas (pembicaraannya tidak dapat
dimengerti)
c. Mengalami
hambatan atau kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain
3.2.
Anatomi dan Fisiologi
Secara anatomi telinga dibagi atas 3 yaitu telinga luar,
telinga tengah dan telinga dalam.
a. Telinga
Luar
Telinga luar terdiri
daun telinga (aurikula) dan liang telinga (meatus akustikus eksternus) sampai
membrane timpani. Aurikula terdiri dari kulit dan tulang rawan elastin yang
dilindungi oleh perikondrium. Meatus akustikus eksternus (MAE) berbentuk huruf
S dengan rangka tulang rawan pada sepertiga luar, sedangkan pada dua pertiga
bagian dalam terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5-3 cm. MAE pada anak
lebih pendek dan lurus sehingga membrane timpani lebih mudah diperiksa tanpa
menggunakan spekulum. Pada sepertiga kulit telinga terdapat banyak kelenjar
serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat
pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit
dijumpai kelenjar serumen.
b. Telinga
Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus (kotak). Dinding
posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut
berbentuk baji dengan batas-batas sebagai berikut:
·
Batas luar : Membrane
timpani
·
Batas depan : Tuba
eustachius
·
Batas bawah : Vena
jugularis
·
Batas belakang : Aditus ad
antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
·
Batas atas : Segmen
timpani
Batas dalam : Kanalis
semisirkularis horizontalis,kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling
berhubungan. Prosessus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus
melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap
lonjong yang berhubungan dengan koklea. Tuba eustachius termasuk dalam telinga
tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.
c. Telinga
Dalam
Terdiri dari koklea yang berupa 2,5 lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Puncak koklea
disebut helikotrema, yang merupakan pertemuan perilimfa skala timpani dengan
skala vestibuli. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibule disebelah
atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media diantaranya. Skala
vestibule dan skala timpani berisi perilimfa dan skala media berisi endolimfa.
Dasar skala vestibule disebut membran Reissner sedangkan dasar skala media
adalah membrane basalis. Pada membrane ini terdapat organ corti.
Suara sebagai gelombang getaran akan diterima oleh membrana
tympani dan getaran ini akan diteruskan oleh tulang-tulang pendengaran (maleus,
incus, dan stapes) di rongga telinga tengah. Selanjutnya akan diterima oleh
"oval window" dan diteruskan ke rongga cochlea serta dikeluarkan lagi
melalui "round window". Rongga cochlea terbagi oleh dua sera menjadi
tiga ruangan, yaitu scala vestibuli, scala tympani dan scala perilimfe dan endolimfe.
Antara scala tympani dan scala medial terdapat membran basilaris, sel-sel
rambut dan serabut afferen dan efferen nervus cochlearis.
Getaran suara tadi akan menggerakkan membrana basilaris,
dimana nada tinggi diterima di bagian basal dan nada rendah diterima di bagian
apeks. Akibat gerakan membrana basilaris maka akan menggerakkan sel-sel rambut
dan terjadi perubahan dari energi mekanik ke chemoelectrical potensial dan akan
dibawa oleh serabut afferen nervus cochlearis ke inti dorsal dan ventral. Kemudian
menginhibisi input, bagian kontralateral bersifat mengeksitasi input. Tetapi
ada juga yang langsung ke nukleus lemniskus lateral. Dari kompleks olivari
superior serabutnya berjalan ke nukleus lemniskus lateralis dan sebagaian
langsung ke colliculus inferior. Serabut-seravut ini membentuk lemniskus
lateralis. Dari colliculus inferior serabutnya berlanjut lagi ke corpus
genikulatum mediale (CGM) sebagai brachium colliculus inferior. Dari CGM ini
serabutnya berjalan ke korteks serebri di area acustikus (area Broadmann,
41,42) dan disadari sebagai rangsang pendengaran.
Proses perkembangan bicara melibatkan banyak fungsi khusus
yang terintegrasi. Diperoleh fungsi pendengaran untuk menerima informasi dari
luar, fungsi saraf perifer untuk penghantaran, saraf pusat untuk pengolahan
informasi, fungsi luhur, komponen motorik serta otot-otot yang kesemuanya
bekerja dengan baik. Yang bertanggung jawab untuk kemampuan berbicara adalah
daerah broca yang terletak di lobus frontalis kiri dan berkaitan erat
dengan daerah korteks dan mengontrol otot-otot penting untuk artikulasi.
Sedangkan daerah yang bertanggung jawab untuk pemahaman bahasa baik tertulis
maupun lisan adalah daerah wernicke bertanggung jawab untuk
memformulasikan pola pembicaraan koheren yang disalurkan melalui seberkas serat
ke daerah brocca yang kemudian mengontrol artikulasi pembicaraan. Daerah
wernicke menerima masukan dari korteks auditorius di lobus temporalis
yang merupakan suatu jalur yang penting untuk memahami bahasa lisan.
Urutan proses yang terlibat sewaktu mendengar dan berbicara
adalah sebagai berikut:
a. Sinyal
bunyi mula-mula diterima oleh area auditorik primer yang natinya akan
menjadikan sinyal tadi dalam bentu kata-kata
b. Kata-kata
lalu diinterpretasikan di area wernicke
c. Penentuan
buah pikiran dan kata-kata yang akan diucapkan juga terjadi di dalam area wernicke
d. Penjalaran
sinyal-sinyal dari area wernicke ke area broca melalui fasikulus
arkuatus
e. Aktivitasi
program keterampilan motorik yang terdapat di area broca untuk mengatur
pembentukan kata
f. Penjalaran
sinyal yang sesuai ke korteks motorik untuk mengatur otot-otot bicara
3.3.
Etiologi
Tuna rungu wicara merupakan akibat gangguan pendengaran
pada anak, sedangkan gangguan pendengaran pada anak dibedakan atas penyebab
pada masa prenatal, perinatal dan postnatal.
a. Masa
Prenatal
1)
Genetik Herediter, bila salah satu dari
orang tua menderita jenis ketulian yang bersifat dominan, kemungkinan 50% dari
anak-anak akan tuli. Hal ini terdapat pada 10% dari semua jenis ketulian yang
bersifat herediter, sedangkan 90% lainnya bersifat resesif. Pada sindrom
Waardenburg (tuli herediter) kedua iris warnanya berbeda (heterokrimia iridum),
jarak kedua mata lebih lebar akibat lipatan kulit epikantus yang lebih jelas
dan terdapat sekelompok rambut putih di bagian muka dari kepala. Sindrom Tietz,
merupakan tuli herediter dengan fenilketonuria, biasanya disertai retardasi
mental.
2)
Non Genetik seperti gangguan/kelainan
pada masa kehamilan, kelainan struktur anatomi dan kekurangan zat gizi (
misalnya defesiensi Jodium).
Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena
infeksi bakteri maupun virus akan berakibat terjadinya ketulian. Infeksi yang
sering mempengaruhi pendengaran antara lain adalah infeksi TORCHS
(Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes, dan Sifilis), campak dan
gondong. Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina,
gentamycin, streptomycin, dan lain-lain, juga mempunyai potensi menyebabkan
terjadinya gangguan proses pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput
(koklea). Malformasi struktur anatomi yang dikenal sebagai penyebab ketulian
antara lain adalah atresia liang telinga dan aplasia koklea.
b.
Masa Perinatal
Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain lahir
prematur, berat badan kurang dari 1500 gram, tindakan dengan alat pada saat
proses kelahiran (ekstraksi vakum, forcep), dan bayi kuning
(hiperbilirubinemia), bayi yang lahir tidak langsung menangis (asfiksia), dan
hipoksia otak (nilai Apgar kurang dari 5 pada 5 menit pertama. Biasanya jenis
ketulian yang terjadi akibat faktor prenatal dan perinatal ini adalah tuli
syaraf dengan derajat ketulian umumnya berat atau sangat berat terjadi pada
kedua telinga (bilateral).
c.
Masa Postnatal
Adanya infeksi bacterial/viral seperti rubella, campak,
parotis, infeksi otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga
tengah, trauma temporal dapat menyebabkan tuli syaraf atau tuli konduktif.
Menurut Am Joint Comintte of infant Hearing Statement
(1994) menetapkan bayi yang berisiko tinggi terhadap ketulian antara lain oleh:
- Terdapat riwayat keluarga dengan tuli
- Adanya infeksi Torchs (Toxoplasma Rubella Cytomegalo Herpes simplex Siphilis) terutama pada trisemester pertama
- Berat badan lahir rendah < 1500 gram
- Hiperbilirubinemia (bayi kuning)
- Asfiksia berat (APGAR skore 0–4 pada menit pertama, 0–6 pada menit kelima)
- Pemakaian obat ototoksik (obat yang dapat merusak system pendengaran)
- Penggunaan alat bantu pernafasan mekanik (ventilator) biasanya dirawat di ICU> 5 hari
- Terdapat sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital
- Terdapat kelainan yang terdapat pada kepala leher
- Meningitis bakterialis (infeksi selaput otak)
Sedangkan pada beberapa faktor yang bisa menyebabkan tunawicara, diantaranya:
a. Hipertensi
b. Faktor genetik /turunan dari orang tua
c. Keracunan makanan
d. Tetanus Neonatorum (Penyakit yang menyerang bayi saat baru lahir. Biasanya disebabkan oleh pertolongan persalinan yang tidak memadai)
e. Difteri (Penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas)
3.4.
Klasifikasi
Ketunarunguan dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu tingkat
kehilangan pendengaran, saat terjadinya ketunarunguan, letak gangguan
pendengaran secaraanatomis, serta etiologis.
a.
Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran yang diperoleh melalui tes
dengan menggunakan audiometer ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1)
Tunarungu ringan (mild hearing loss)
2)
Tunarungu sedang (moderate hearing loss)
3)
Tunarungu agak berat (moderately csevere hearing loss)
4)
Tunarungu berat (severe hearing loss)
5)
Tunarungu berat sekali (profound hearing loss)
b.
Berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut.
1)
Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), yaitu kehilangan
pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan bicara da bahsa berkembang
2)
Ketunarunguan pascabahasa (post lingual deafness), yaitu
kehilangan pendengaran yang terjadi beberapa tahun setelah kemampuan bicara dan
bahasa berkembang
c.
Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan
dapat diklasifasikan sebagai berikut.
1.
Tunarungu tipe konduktif, yaitu kehilangan pendengaran yang disebabkan
oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah, yang berfungsi
sebagai alat konduksi atau pengantar getaran suara menuju telinga bagian dalam
2.
Tunarungu tipe sensorineural, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh terjadinya
kerusakan pada telinga dalam serta saraf pendengaran (nervus chochlearis)
3.
Tunarungu tipe campuran yang merupakan gabungan tipe konduktif dan
sensorineural, artinya kerusakan terjadi pada telinga luar/tengah dengan telinga
dalam/saraf pendengaran
d.
Berdasarkan etiologi atau asal usul ketunarunguan diklasifikasikan
sebagai berikut.
1)
Tunarungu endogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor genetik
(keturunan)
2)
Tunarungu eksogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh factor
nongenetik (bukan keturunan)
Klasifikasi ketunarunguan sangat bervariasi menurut BOOThroyd. Klasifikasi
dan karakteristik ketunarunguan diantaranya didasarkan pada:
a.
Kelompok I: Kehilangan 15-30 dB: mild
hearing losses atau
ketunarunguan ringan; daya tangkap suara cakapan manusia normal
b.
Kelompok II: Kehilangan 31-60 dB: moderate hearing losses atau
ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap cakapan manusia hanya sebagian
c.
Kelompok III: Kehilangan 61-90 dB: severve hearing losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap
terhadap cakapan suara manusia tidak ada
d.
Kelompok IV: Kehilangan 91-120 dB: profound
hearing losses atau
ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak
ada sama sekali
e.
Kelompok V: Kehilangan lebih dari 120 dB: total hearing losses atau ketunarunguan total; daya tangkap
terhadap suara manusia tidak ada sama sekali
3.5.
Manifestasi Klinis
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap
perkembangan mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu
dicurigai bila:
a.
Usia 12 bulan: belum dapat mengoceh (babbling)
atau meniru bunyi
b.
Usia 18 bulan: tidak dapat menyebut satu kata yang
mempunyai arti
c.
Usia 24 bulan: perbendaharaan kata kurang dari 10
kata
d.
Usia 30 bulan: belum dapat merangkai dua kata
Karakteristik Anak Tunarungu
Beberapa karakteristik anak tuna rungu:
1)
Tidak mampu mendengar
2)
Terlambat perkembangan bahasa
3)
Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi
4)
Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara
5)
Ucapan kata tidak jelas
6)
Kualitas suara aneh/monoton
7)
Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar
8)
Banyak perhatian terhadap getaran
9)
Keluar cairan ‘nanah’ dari kedua telinga
Apabila seorang anak memiliki 6 ciri dari 9
ciri di atas, maka mereka dikategorikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan
khusus.
Karakteristik
tunawicara:
1)
Berbicara keras dan tidak jelas
2)
Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman
bicaranya
3)
Telinga mengeluarkan cairan
4)
Menggunakan alat bantu dengar
5)
Bibir sumbing
6)
Suka melakukan gerakan tubuh
7)
Cenderung pendiam
8)
Suara sengau
9)
Cadel
3.6.
Perkembangan Anak Tuna Rungu dan Tuna Wicara
a.
Pengaruh Pendengaran Pada Perkembangan Bicara dan
Bahasa
Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan
ketajaman pendengaran. Akibat terbatasnya ketajaman pendengaran, anak tunarungu
tidak mampu mendengar dengan baik. Dengan demikian pada anak tunarungu tidak
terjadi proses peniruan suara setelah masa meraban.
Bahasa mempunyai fungsi dan peran pokok sebagai mesia untuk
berkomunikasi. Dalam fungsinya dapat pula di bedakan berbagai peranan lain dari
bahasa seperti:
·
Bahasa sebagai wahana untuk mengadakan kontak atau
hubungan
·
Untuk mengungkapkan perasaan, kebutuhan, dan
keinginan
·
Untuk mengatur dan menguasai tingkah laku orang
lain
·
Untuk pemberian orang lain
·
Untuk memperoleh pengetahuan
Perkembangan kemampuan bahasa dan komunikasi anak tunarungu
terutama yang tergolong tunarungu total tentu tidak mungkin untuk sampai pada
penguasaan bahasa melaui pendengarannya, melainkan harus melalui
pendengarannya. Oleh sebab itu komunikasi bagi anak tunarungu mempergunakan
segala aspek yang ada pada dirinya adapun media komunikasi yang dapat di
gunakan adalah:
·
Anak tunarungu yang mampu bicara, tetap menggunakan
bicara sebagai media dan membaca ujaran sebagai sarana penerimaan dari pihak
anak tunarungu
·
Mengunakan isyarat sebagai media
b. Perkembangan Kongnitif
Umunya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama
dengan anak normal tapi di pengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya,
keterbatasan informasi, dan kiranya daya abstraksi anak. Dan mengakibatkan
penghambat proses pencapaian yang lebih luas. Kerendahan tingkat intelegensi
anak tunarungu bukan berasal dari hambatan intelektualnya yang rendah melainkan
secara umum karena intelegensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang
tidak semua aspek intelegensi terhambat, aspek intelegensi yang terhambat
perkembanganya ialah bersifat verbal, misalnya merumuskan pengertian hubungan,
menarik kesimpulan, dan meramalkan kejadian.
c. Perkembangan
Emosi
Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan sering
kali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara negative atau salah
dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosinya itu dapat
menghambat perkembangan pribadinya dengan menampilkan sikap menutup diri,
bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan keimbangan dan keragu- raguan
emosi anak tunarungu selalu bergolak di satu pihak karena kemiskinan bahasanya
dan di pihak lain karena pengaruh dari luar yang diterimanya. Anak tunarungu
bila di tegur oleh orang yang tidak di kenalnya akan tampak resah dan gelisah.
d. Perkembangan Sosial
Anak tunarungu memiliki kelainan dalam segi fisik biasanya
akan menyebabkan suatu kelainan dalam penyusuaian diri terhadap lingkungan.
Anak tunarungu bsnysk di hinggapi kecemasan karena menghadapi lingkungan yang
beraneka ragam komunikasinya, anak tunarungu sering mengalami berbagai konflik,
kebingungan, dan ketakutan karena ia sebenarnya hidup dalam lingkungan yang
bermacam- macam.kesulitan bahasa tidak dapat di hindari untuk anak tunarungu,
namun tidaklah demikian karena anak ini mengalami hambatan dalam bicara.
e. Perkembangan Prilaku Anak
Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tunarungu,
yaitu ketidakmampuan menerima ransangan pendengaran, kemiskinan berbahasa,
ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan intelegensi di hubungkan denagn sikap
lingkungan terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya.
3.7.
Pemeriksaan Penunjang
Walaupun ketulian yang dialami seseorang bayi/anak ringan,
dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan
berbahasa. Dalam keadaan normal, seorang bayi telah memiliki kesiapan
berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan, berarti saat tersebut merupakan
pariode kritis untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Pendapat lain
mengatakan bahwa dalam proses belajar berbicara masa yang paling penting
berlangsung antara 2-3 tahun. Teknik pemeriksaan pendengaran pada
bayi atau anak, yaitu:
a. Free
Field Test
Pemeriksaan ini
dilakukan pada ruangan yang cukup tenang (bising lingkungan tidak lebih dari 60
dB), idealnya pada ruang kedap suara. Sebagai sumber bunyi sederhana dapat
digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastic berisi pasir, remasan kertas
minyak, bel, terompet, mainan yang mempunyai frekuensi tinggi dll. Dinilai
kemampuan anak dalam memberikan respon terhadap sumber bunyi tersebut.
b. Behavioral
Obsevastion (0-6 Bulan)
Prinsip pemeriksaan ini
adalah mengamati respon terhadap sumber bunyi berupa perubahan sikap atau
reflex yang terjadi pada bayi yang sedang diperiksa. Bila tidak ada respon
terhadap stimuli bunyi, pemeriksaan diulangi sekali lagi. Kalau tetap tidak
berhasil pemeriksaan ketiga dilakukan 1 minggu kemudian. Seandainya tetap tidak
ada respon, harus dilakukan pemeriksaan audiologi lanjut yang lebih lengkap.
c. Conditioned
Test (2-4 tahun)
Sebelum pemeriksaan
anak dilatih untuk melakukan suatu permaian dan mendengar stimuli bunyi
permaian tersebut. Setelah anak terbiasa, dilakukan pemeriksaan yang sebenarnya
dengan menggunakan sumber bunyi tersebut yang diketahui frekuensi dan
intensitasnya.
d. Audiometri
Nada Murni
Pemeriksaan ini dilakukan
pada anak yang berusia lebih dari 4 tahun. Pemeriksaan ini menggunakan
audiometric. Sumber suara berupa nada murni. Pemeriksaan inidilakukan pada
ruang kedap suara. Suara dengan intensitas terendah dicatat pada audiogram.
e. BERA
(Brain Evoked Respone Audiometry)
Penggunaan BERA sangat
objektif, penggunaan yang mudah, tidak invasive dan dapat dilakuakn pada pasien
koma sekalipun. Tes BERA ini menilai fungsi pendengaran bayi anak yang tidak
koperatif dan tidak dapat diperiksa dengan cara konvensionil. Reaksi yang
timbul sepanjang jaras-jaras saraf pendengaran dapat dideteksi berdasarkan
waktu yang dibutuhkan (satuan milidetik) mulai dari saat pemberian impuls
sampai sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang.
f. Ottoaucoustic
Emissions (OAE)
Menilai fungsi koklea
secara obyektif dan dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Sangat
bermanfaat untuk program skrining pendengaran pada bayi dan anak. Prinsip
pemeriksaan ini adalah merekam suara yang terbentuk pada telinga dalam. Suara
dapat terdeteksi pada telinga yang dapat mendengar dengan normal. Suara ini
mencerminkan adanya struktur dan fungsi normal yang dibutuhkan oleh telinga
untuk mendengar. OAE dapat dilakukan dengan cepat, tidak mahal dan mudah
dilakukan dengan pelatihan ringan. Earphone dipasang pada telinga bayi
kemudian mesin akan mencatat stimulus yang diberikan serta respon yang timbul.
3.8.
Penatalaksanaan
Setelah diketahui seorang anak menderita ketulian upaya
habilitasi harus dilakukan sedini mungkin. Usia kritis dalam proses belajar
mendengar dan berbicara adalah sekitas 2-3 tahun.
Anak dengan tuli saraf berat harus segera memulai memakai
alat bantu dengar (ABD) yang sesuai. Alat ini paling banyak digunakan, biasanya
dipasang di dalam saluran telinga dengan sebuah penutup kedap udara atau sebuah
selang kecil yang terbuka.
a. Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Badan
Digunakan pada penderita tuli dan merupakan alat bantu
dengar yang paling kuat. Alat ini disimpan dalam saku kemeja atau celana dan
dihubungkan dengan sebuah kabel ke alat yang dipasang di saluran telinga. Alat
ini seringkali dipakai oleh bayi dan anak-anak karena pemakaiannya lebih mudah
dan tidak mudah rusak.
b. Alat Bantu Dengar Yang Dipasang
Di Belakang Telinga
Digunakan untuk penderita gangguan fungsi pendengaran
sedang sampai berat. Alat ini dipasang di belakang telinga dan relatif tidak
terlihat oleh orang lain.
c. Alat Bantu Dengar Hantaran
Tulang
Alat ini digunakan oleh penderita yang tidak dapat memakai
alat bantu dengar hantaran udara, misalnya penderita yang terlahir tanpa
saluran telinga atau jika dari telinganya keluar cairan (otore). Alat
ini dipasang di kepala, biasanya di belakang telinga dengan bantuan sebuah pita
elastis. Suara dihantarkan melalui tulang tengkorak ke telinga dalam. Beberapa
alat bantu dengar hantaran tulang bisa ditanamkan pada tulang di belakang
telinga.
Pencangkokan koklea (implan koklea) dilakukan pada
penderita tuli berat bilateral atau total bilateral yang tidak dapat mendengar
meskipun telah menggunakan alat bantu dengar. Alat ini dicangkokkan di bawah
kulit di belakang telinga dan terdiri dari 4 bagian:
·
Sebuah mikrofon untuk menangkap suara
dari sekitar
·
Sebuah prosesor percakapan yang
berfungsi memilih dan mengubah suara yang tertangkap oleh mikrofon
·
Sebuah transmiter dan stimulator/penerima
yang berfungsi menerima sinyal dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi
gelombang listrik
·
Elektroda, berfungsi mengumpulkan
gelombang dari stimulator dan mengirimnya ke otak.
Suatu implan tidak mengembalikan ataupun menciptakan fungsi
pendengaran yang normal, tetapi bisa memberikan pemahaman auditoris kepada
penderita tuli dan membantu mereka dalam memahami percakapan. Implan koklea
sangat berbeda dengan alat bantu dengar. Alat bantu dengar berfungsi
memperkeras suara. Implan koklea menggantikan fungsi dari bagian telinga dalam
yang mengalami kerusakan. Jika fungsi pendengaran normal, gelombang suara
diubah menjadi gelombang listrik oleh telinga dalam. Gelombang listrik ini lalu
dikirim ke otak dan kita menerimanya sebagai suara. Implan koklea bekerja
dengan cara yang sama. Secara elektronik, implan koklea menemukan bunyi yang
berarti dan kemudian mengirimnya ke otak. Untk anak yang mengalami tuli berat
sejak lahir, sebaiknya implan dipasang pada usia 2 tahun.
Sebelum dirujuk ke SLB, sebelumnya anak diperiksa oleh
psikolog untuk menilai tingkat intelejensinya, kemudian dilakukan proses
habilitasi di SLB B, untuk anak tuna rungu, jika disertai dengan retardasi
mental, maka dirujuk ke SLB C. Pendidikan khusus dapat dimulai pada usia 2
tahun. Proses rehabilitasi untuk anak tuna rungu membutuhkan kerjasama antara
berbagai disiplin, antara lain dokter spesialis THT, audiologist, ahli terapi
wicara, psikolog anak, guru khusus untuk tuna rungu dan keluarga penderita.
4. Adaptasi Makhluk Hidup Terhadap Lingkungannya
Adaptasi adalah penyesuaian diri makhluk hidup terhadap
lingkunganya. Setiap makhluk hidup telah dibekali kemampuan beradaptasi
oleh Tuhan. Kemampuan beradaptasi itu berguna untuk mempertahankan hidupnya.
Dengan dapat mempertahankan hidup maka hewan dan tumbuhan terhindar
dari kepunahan dan ekosistem
tetap seimbang.
Cara beradaptasi setiap makhluk hidup berbeda-beda, berdasarkan jenis adaptasinyanya dibagi menjadi tiga, yaitu beradaptasi secara morfologis, fisiologis.
4.1 Adaptasi Morfologi
Adaptasi Morfologi yaitu penyesuaian bentuk tubuh atau
struktur tubuh tertentu dari suatu organisme terhadap lingkungannya.
a. Bentuk paruh burung berbeda-beda disesuaikan dengan
makananya. Paruh burung bangau panjang bagian bawah lebar
untuk menangkap mangsa
b. Bentuk cakar burung berbeda-beda sesuai dengan tempat
hidupnya. Kaki ayam tegap dan kuat untuk berjalan di darat.
c. Tipe mulut serangga berbeda-beda. Mulut
penjilat: pada lebah dan lalat.
4.2 Adaptasi Fisiologi
Adaptasi fisiologi adalah penyesuaian fungsi kerja
alat-alat tubuh suatu organisme terhadap lingkungannya.
1. Adaptasi terhadap sistem
pencernaan
Hewan-hewan herbivor beradaptasi
terhadap makanan secara fisiologis. Sapi, kambing, kerbau, dan domba merupakan
hewan herbivor yang dapat mencerna zat makanan di dalam lambung. Rayap dan
Teredo navalis yang hidup di kayu galangan kapal dapat mencerna kayu dengan
bantuan enzim selulose.
2. Tumbuhan pemakan serangga
(insektivora). Contoh tumbuhan pemakan serangga adalah tumbuhan venus. Tumbuhan
ini memiliki jebakan atau trap (modifikasi dari daun) yang dapat tertutup bila
ada serangga yang masuk di antara rambut-rambut trap tersebut. Didalam trap
tersebut juga diproduksi cairan asam enzimatik yang akan menguraikan jaringan
hidup, mengubahnya menjadi bentuk yang dapat dimakan oleh tanaman tersebut.
Ketika proses pencernaan telah selesai maka trap akan membuka kembali, dan
menyisakan struktur seperti rangka sedangkan materi nitrogen telah digunakan
oleh tanaman sebagai nutrisi. Selain venus tumbuhan yang memakan serangga yaitu
kantung semar dan embun matahari.
4.3 Adaptasi Tingkah Laku
Adaptasi tingkah laku adalah perubahan perilaku suatu
organisme untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Beberapa contoh
adaptasi tingkah laku adalah sebagai berikut:
1.
Mimikri
Mimikri adalah perubahan warna
kulit hewan sesuai lingkungan tempat ia tinggal, contohnya bunglon. Apabila
bunglon tinggal di daun yang hijau, tubuhnya akanberwarna hijau seperti daun.
Serangga juga memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya
seperti belalang yang memiliki bentuk seperti daun dan ranting. Hal ini
menyebabkan bunglon terhindar dari pemangsanya
2. Autotomi
Autotomi yaitu mengelabuhi musuh
dengan cara memutuskan ekor. Cecak merupakan contoh hewan yang ekornya mudah
putus, dalam keadaan bahaya, cecak akan menggunakan cara itu untuk mengelabuhi
musuh.
3. Hibernasi
Pada saat musim dingin ular
bartahan hidup dengan cara hibernasi, yaitu terlelap pada tidur khusus yang
sengaja dilakukan pada saat musim dingin.
4. Estivasi
Estivasi yaitu tidur dikala
musim panas, pada saat musim panas beberapa hewan bergerak mencari perlindungan
dan tidur karena udaranya sangat panas dan kering. Contoh hewan yang melakukan
estivasi yaitu kelelawar dan tupai.
5. Munculnya paus ke permukaan laut
Paus merupakan hewan mamalia
yang hidup diair. Mereka bernafas menggunakan paru – paru untuk mrnghirup
undara yang menggandung oksigen, hewan tersebut muncul kepermukaan air laut.
6. Pengeluaran cairan tinta
(tentacles) oleh cumi – dan gurita.
Untuk melindungi diri dalam
keadaan bahaya cumi – cumi dan gurita akan mengeluarkan tinta hitam dari
tubuhny, sehingga musuh tidak dapat mengetauhi keberadaannya karena
lingkungannya gelap.
7. Perilaku Produksi
Dalam perilaku reproduksi,
biasanya seekor hewan jantan bertarung dengan jantan lain. Hal ini terjadi agar
dapat menguasai si betina dan dapat melakukan perkawinan untuk berkembang biak.
Ada pula jantan yang menunjukkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya untuk
menarik perhatian si betina. Contohnya, burung merak jantan akan mengembangkan
bulu ekornya untuk menarik perhatian betina saat musim kawin.
8. Adaptasi tingkah laku rayap
Pada saat mengalami pengelupasan
kulit, hewan flagellata pada usus bagian belakang rayap ikut terkelupas. Untuk
mendapatkan kembali flagellata tersebut, rayap biasanya memakan kembali
kelupasannya kulitnya.
9. Pohon Jati
Pohon jati menggugurkan daunnya
saat musim kemarau untuk mengurangi penguapan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadi, Purwaka, 2007
Komunikasi
Aktif Bagi Tunanetra Aktifitas Dalam Pembelajaran Pada Sistem Pendidikan
Inklusif, Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional
Suparno, et.al
Pendidikan
Berkebutuhan Khusus, Bnajarmasin: Dinas pendidikan Provinsi
Kalimantan Selatan
Supartini, Yupi, 2004.
Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak,
Jakarta: EGC
Wardhani, IGAK, 2007
Pengantar
Pendidikan Luar Biasa, Jakarta: Universitas Terbuka
Wong, Donna. L, 2004
Pedoman Klinis
Keperawatan Pediatrik: Edisi 4, Jakarta, EGC
wikipedia.com, Adaptasi Makhluk Hidup
Terhadap Lingkungan, Diakses 16-1-2013
Oke Sekianlah artikel kami yang membahas mengenai SAP terapi bermain, semoga artikel ini bermanfaat bagi teman-teman semua, dan jangan lupa share artikel kami ini jika bermanfaat dan tetap mencantumkan link blog kami. Jangan bosan untuk membaca artikel lainnya disini, Sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
0 komentar